Sabtu, 29 Juni 2013

Potongan-potongan kicauan untuk kak ila (mengenang 7 tahun 30 juni 2006)

Tadi baru ingat gara-gara nyimak twitnya nastiti. 7 tahun lalu adik saya nabila menghembuskan nafas terakhir karena sakit.

Kakak ila sakit. sel darah putihnya memangsa sel darah merahnya. Alat bantu medis dimana-mana.

Mendarat di jakarta. Bukannya ke rumah malah ke rumah sakit cipto saat itu. Itupun bukan dijemput papa ataupun ibu.

Sampai di rumah sakit. Liat kak ila yang biasanya semangat dan enerjik hanya bisa terbaring lemah lengkap dengan selang infus dan alat bantu medis lainnya.

Saya menangis. Gila saja!!! Anak sekecil itu harus menderita. Darah keluar dari hidung, telinga dan bibir sampe mengering. Badan kehitaman karena darah mati.

Saya tidak pulang ke rumah. Saya tinggal disana. Menemani papa dan ibu jaga nabila. Tak tega juga liat mereka sedih bercampur letih

Hari-hari itu bikin saya terkagum-kagum sama papa dan ibu. Bersyukur punya papa dan ibu yang kuat dan tabah seperti itu.

Ibu yang harus bolak balik jakarta bekasi misalnya. Itupun cuman naik kereta sama metro mini. Belum lg ngurus nastiti sm dinul juga.

Pas sekali temani ibu buat bolak balik ke jakarta bekasi. Satu yang kuingat. Wanita ini tangguh!

Papa malah lebih parah. Nyari duit buat biaya perawatan kakak ila. Apalagi kakak ila harus selalu butuh darah banyak yang harganya juga selangit.

Malah dulu pernah bareng papa harus larut malam kesana kemari naik bus sama bajaj nyari darah buat kakak ila karena tiba-tiba dia butuh.

Momen paling sedihnya? Pas papa sama ibu shalat sama-sama. Buat minta sama Allah kekuatan buat ikhlasin kakak ila sebelum mutusin mencabut semua alat bantu medis kakak ila.

Setelah itu, papa sama ibu setuju. Semua alat bantu dilepas. Kami siap melepas kak ila. Selalu melantunkan ayat suci disisinya.

Tepat hari ini. Larut malam juga seperti ini mungkin. kakak ila pergi. Dia pergi diantar tangisan ibu, papa, saya, serta orang-orang yang menjaganya.

Saat itu saya ikut ambulans yang antar kakak ila dari rumah sakit ke rumah. Cukup jauh. Cukup untuk percakapan terakhirku dengan jasadnya.

Kakak ila ingat? Saat itu saya benar-benar minta maaf sama kakak ila. Belum bisa jadi kakak yang baik buat kakak ila. Belum bisa ngasih apa-apa.

Malah saya belum bisa pengertian sama keterbatasannya kakak ila. Seperti pengertian papa ibu yang begitu sayang sama kakak ila bagaimanapun kakak ila.

Iya, saya memang kakak yang buruk.

Kakak ila tau tidak. Kalau misalnya sehabis saya dimarahin sama papa, saya selalu merasa kakak ila ada di dekat saya. Tenangkan saya.

Seolah-olah kakak ila nasehati dan bela saya. seperti waktu kakak ila lagi tenangin nastiti atau dinul yang lagi habis dibikin nangis.

Lengkap dengan suara khas dan gaya bicaranya kak ila. Yang kadang lebih mirip memarahi ketimbang menenangkan.

Sama kayak kakak ila yang lagi marahin papa karena papa ngerokok lagi. Sampai-sampai kakak ila tega patah-patahin rokok papa.

Kakak ila, tenang yah disana. Ada Tuhan yang selalu jaga kakak ila. Disana juga ada ibu lain kakak ila. Ibu saya. Jadi gak mungkin kesepian.

Ibu saya di surga, permintaan saya hari ini masih sama seperti tujuh tahun lalu ketika di ambulans. Jaga nabila adik saya disana. Anak ibu juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar