Selasa, 28 Mei 2013

Pa, sudahkah kamu mengecek kalender hari ini?

Pa, tahukah kamu hari ini hari apa?
Rabu? Iya, tapi bukan itu maksudku.
Sudahkah kamu mengecek kalendermu hari ini?
Apakah ada tanda disana?
Ah, semoga saja ada.

Sudahlah, lebih baik aku memberitahukanmu saja langsung.
Hari ini tanggal 29 mei 2013.
Ulang tahunku.
Iya benar, hari kelahiranku.
23 tahun silam di rumah sakit harapan kita jakarta tepatnya.
Hari dimana kamu kedatangan seorang anak yang membuatmu bersusah payah mencari uang untuk membayar persalinannya mungkin.
Anak yang tak pernah kamu sangka bakal menjadi sebobrok ini.

Pa, apakah kamu tak ingat?
Sedih juga rasanya.
Tapi tak apalah.
Aku bisa memakluminya.
Dan aku sama sekali tak berekspektasi tinggi.
Kan aku cuman seorang anak yang sebenarnya sudah tak pantas kamu anggap anak lagi.

Ini ulang tahunku, pa.
Bisa saja aku memintamu membelikan hal-hal yang kuinginkan saat ini.
Kamera dslr? Handphone baru? Laptop baru? PS 3?
Walaupun sebenarnya aku mau barang-barang itu..
Tapi tak usahlah.
Aku sadar diri.
Bukan, bukan karena aku takut dicap seperti anak-anak.
Tapi karena aku sadar diri.
Mana pantas seorang anak yang sudah kamu cap kurang ajar ini meminta itu semua.
Bahkan untuk uang bulanan pun aku enggan meminta.
Aku lebih memilih menunggu belas kasihmu saja.

Aku malu, pa.
Umurku sekarang 23 tahun.
Umur yang tak muda lagi.
Umur yang seharusnya sudah bisa mandiri.
Tak lagi bergantung padamu.
Sudah sarjana.
Bukannya malah putus kuliah dan membuatmu malu.
Harusnya sudah bekerja.
Memberikanmu hadiah dari gaji pertamaku.
Membelikan pulsa tiap bulannya untuk dua adikku.
Bukan malah dikirimi uang tiap bulannya.

Pa, kalau boleh saya minta sesuatu.
Aku cuman ingin satu hal.
Tenang saja, aku tak akan meminta barang-barang tadi yang kusebut.
Aku cuman akan meminta sebuah pesan singkat.
Benar, sebuah pesan singkat.
Sebuah pesan singkat yang berisi ucapan selamat ulang tahun darimu.
Pesan singkat yang berisi doa-doamu pada Tuhan untukku.
Doa yang pastinya bakal membuatku bersemangat lagi.
Menata kembali hidupku yang sudah kubuat begtu berantakan.
Berusaha untuk membuatmu kembali bangga punya anak sepertiku.

Senin, 13 Mei 2013

persembahan untuk Mr. 8 community (aku merindukan kalian)

Kurang lima tahun yang lalu.
Berkumpullah para manusia yang berbeda dalam satu wadah.
Berbeda dalam kultur, karakter, latar belakang, serta cita-cita.
Diajarkan tentang makna kebersamaan serta persaudaraan.
Dan proses interaksi pun terjadi.
Waktu demi waktu dilewati bersama.
Ada keluguan, ketololan, canda tawa, tangisan, amarah, serta kasih sayang.
Membentuk dinamika yang amat sangat kompleks.
Serta disatukan dalam kalimat “karena cinta, aku ada”.

Seiring berlalunya sang waktu.
Makhluk-makhluk lugu nan polos itu pun ikut berubah.
Bermetamorfosis menjadi warna masing-masing.
Membentuk pribadi kuat hasil tempaan dari dilema yang datang silih berganti.
Sudah berani berbicara lantang dengan bahasa yang tinggi.
Kritis melihat keadaan sekitar serta mampu membaca situasi.
Keluguan serta kepolosan yang dulu telah berganti dengan intelektual yang tinggi.

Namun jauh melihat ke belakang.
Menyaksikan potret-potret kenangan yang telah tergores.
Raut wajah serta tingkah laku yang dulu telah sirna.
Kerinduan akan itu pun ikut muncul.
Ingin rasanya melihat para manusia itu ketika masih dalam keadaan “polos”.
Tanpa segala embel-embel status serta apapun itu yang tak penting.
Yang ditahu hanya semua adalah saudara.

Entahlah apakah waktu dapat diputar kembali.
Yang jelasnya waktu dengan otoriternya seakan-akan ingin memisahkan.
Dan sadarlah waktu akan terus berjalan.
Dan itu berbanding lurus dengan berkurangnya intensitas momen kebersamaan yang bisa tercipta.
Semakin melebarkan jarak yang ada.

Tapi ketahuilah.
Momen-momen indah bersama itu akan terus terekam.
Mempunyai tempat tersendiri di dalam memori.
Karena tak ada kamus yang menuliskan mantan saudara.
Saudara akan tetap selamanya akan menjadi saudara.

Persembahan untuk kalian.
Para manusia yang berkumpul dalam satu wadah.
Chemistry Two Thousand and Eight.

surat untuk tuhan kecil di lembaga kemahasiswaan

yang terhormat,
dikau yang merasa seperti tuhan.
mencoba mengatur semua di dalam kuasamu.
seakan-akan lembaga ini berada di genggamanmu.
menjadi sangat tidak bijaksana.

mungkin tuhan kecil sudah tahu.
kalau teori struktur fungsional bilang bahwa setiap individu mempunyai posisi dalam struktur di sebuah sistem.
dan masing-masing struktur mempunyai fungsinya sendiri-sendiri.
dan kekacauan akan terjadi jika salah satu struktur tidak menjalankan fungsinya ataupun mengambil alih fungsi struktur lainnya.
maka agar menjaga kestabilan sistem kelembagaan ini.
biarkanlah masing-masing struktur menjalankan fungsinya masing-masing.
bukankah itu juga menjadi proses pengkaderan bagi tiap individu di masing-masing struktur.

kami tahu, tuhan kecil punya pengalaman yang lebih.
kami juga tahu bahwa tuhan kecil sudah melewati ini semua.
tapi tuhan kecil juga pasti tahu kalau misalnya langkah kami sering didikte maka kami tak akan dapat pelajaran apa-apa.
lantas apa yang akan kami ajarkan jika kami nantinya menjadi tuhan kecil yang baru?
maka jelas akan ada nilai yang putus di generasi kami.

tolonglah...
beri kebebasan.
kami bukannya tak bisa lepas dari kuasamu.
bukankah menurut teori definisi sosial setiap manusia itu kreatif dan punya kebebasan untuk lepas dari fakta sosial yang mengungkungnya.
tapi kami masih menghormatimu.
menghormatimu sebagai orang yang pernah menananmkan nilai-nilai luhur kepada kami.
mengajarkan semua hal yang engkau ketahui.

sekian surat ini.
bukannya menggurui namun sekedar mengemukakan pendapat.
mohon maafkan jika ternyata sudut pandang yang digunakan salah.

hormat kami,
Adikmu.

Rabu, 08 Mei 2013

Sepenggal surat lainnya

Nak, mendekatlah kesini.
Ayah punya cerita untukmu.
Ayah ingin berbagi kisah masa lalu ayah.
Masa lalu ketika ayah masih duduk di bangku kuliah.
Masa yang telah ayah lalui dan kelak akan kamu lalui juga.

Nak, kamu boleh berbangga.
Ayahmu ini adalah salah satu mahasiswa berprestasi di zamannya.
Betapa tidak, ayah berhasil menyelesaikan studi ayah hanya dalam tempo 3 tahun setengah.
Nilai ayah pun sangat fantastis.
Ayah berhasil menjadi sarjana berpredikat cum laude dengan IPK 3,9.
Prestasi yang tidak semua mahasiswa mampu mencapainya.

Nak, dulu waktu ayah masih menjadi mahasiswa.
Hari-hari ayah selalu bergelut dengan kuliah.
Bercengkrama dengan buku-buku kuliah.
Menghabiskan waktu ayah di kelas ataupun di perpustakaan.
Tak ada waktu untuk dibuang percuma.
Apalagi hanya dipakai untuk bersenda gurau.
Ayah lebih memilih untuk berpikir bagaimana caranya agar ayah menjadi nomor satu.

Nak, cuman satu permohonan ayah untukmu.
jangan kamu bertanya tentang bagaimana kisah pergaulan ayah di kampus karena ayah tak punya.
Jangan kamu bertanya tentang kisah cinta ayah di kampus karena ayah tak pernah.
Jangan kamu meminta ayah untuk bercerita tentang kisah heroik ayah yang memperjuangkan nasib rakyat karena ayah tak bisa.
Dan jangan pernah bertanya tentang wacana-wacana kebangsaan kepada ayah karena ayah tak tahu.

Iya nak, kamu benar.
Kisah dunia kampus ayah sangat tak menarik.
Ibaratkan film yang ceritanya sangat monoton.
Ayah mewarnai kanvas kehidupan kampus ayah hanya dengan satu warna saja.
Terlalu terpaku terhadap goresan angka di atas sehelai kertas.
Ayah lupa belajar tentang persahabatan.
Ayah lupa belajar tentang keperdulian.
Ayah lupa belajar tentang kemanusiaan.
Serta ayah lupa belajar tentang cinta kasih.
Pelajaran-pelajaran yang tak pernah diajarkan oleh dosen ayah.
Pelajaran-pelajaran yang tak tercantum di atas kertas nilai ayah.

Nak, lihatlah sekarang.
Ayah tak siap menghadapi kehidupan yang sebenarnya.
Ayah lupa untuk 'mendunia' di 'miniatur kehidupan'.
Miniatur kehidupan yang bernama dunia kampus.
Sehingga membuat ayah jadi kehilangan daya saing.
Sehingga ayah terlindas oleh zaman.

Memang benar kata orang.
Belajar adalah tugas mulia seorang mahasiswa.
Tapi bukankah belajar tidak hanya bisa dilakukan dalam kelas?Belajar tidak hanya bisa dengan menggunakan diktat-diktat kuliah?
Banyak hal yang bisa kamu pelajari di dunia kampus nak.
Kampus bisa mengajarkan makna lain dari kehidupan.
Pelajaran bahwa kehidupan bukan soal kompetisi.
Bukan hanya tentang kuliah, kerja, kawin, serta berakhir di kuburan.
Kampus mengajarkan hidup itu tentang berbagi.
Ya,hidup itu tentang bagaimana kamu tersenyum, dia tersenyum, dan mereka tersenyum.

surat untukmu wahai aktivis


Orang bilang anakku seorang aktivis .
Kata mereka namanya tersohor di kampusnya sana .
Orang bilang anakku seorang aktivis.
Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat .
Orang bilang anakku seorang aktivis .
Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak ?
Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.
Anakku,sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis .
Dengan segala kesibukkanmu,ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat.
Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak ?
Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak.
tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.
Anakku,kita memang berada di satu atap nak .
di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini .
Tapi kini di manakah rumahmu nak?
ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini .
Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah.
dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu .
Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut.
Mungkin tawamu telah habis hari ini .
tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu .
Ah,lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti.
bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu .
Atau jangankan untuk tersenyum,sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau enggan.
katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline.
Padahal andai kau tahu nak,ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini.
memastikan engkau baik-baik saja.
memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu.
Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak,tapi bukankah aku ini ibumu ?
yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku..
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak.
Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu.
engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu .
Engkau nampak amat peduli dengan semua itu.
ibu bangga padamu .
Namun,sebagian hati ibu mulai bertanya nak.
kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak ?
Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu ?
kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak ?
Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak ?
Anakku,ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu.
Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu .
Memang nak,menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat .
tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan .
Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak?
bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?
Anakku,ibu mencoba membuka buku agendamu .
Buku agenda sang aktivis.
Jadwalmu begitu padat nak .
ada rapat disana sini,ada jadwal mengkaji,ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting.
Ibu membuka lembar demi lembarnya .
disana ada sekumpulan agendamu,ada sekumpulan mimpi dan harapanmu.
Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya .
masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana.
Ternyata memang tak ada nak.
tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini.
Tak ada cita-cita untuk ibumu ini .
Padahal nak,andai engkau tahu sejak kau ada di rahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu,putra kecilku..
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka .
mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional.
Boleh ibu bertanya nak,di mana profesionalitasmu untuk ibu ?
di mana profesionalitasmu untuk keluarga ?
Di mana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat ?
Ah,waktumu terlalu mahal nak.
Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya.
Pun pertemuan dengan orang tercinta,ibu,ayah,kaka dan adik .
Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik .
Dan hingga saat itu datang,jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan.
Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan .
Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.

Selamat hari pendidikan Indonesia!

Beberapa puluh tahun lalu, dunia pendidikan pernah digemparkan dengan kehadiran seorang pemikir pendidikan revolusioner yang pikiran-pikirannya dipenuhi dengan gagasan-gagasan meletup-letup lagi mencengangkan. Dialah Ivan Illich, seorang pemikir besar kelahiran Wina tahun 1926, yang mempunyai latar belakang pendidikan teologi dan kemudian menjadi seorang rohaniawan Katolik penuh kontroversi. Pikiran-pikirannya dapat ditelusuri melalui beberapa karya yang telah ditulisnya. Penelusuran terhadap karya-karyanya ini menjadi demikian penting bagi generasi-generasi sepeninggalnya untuk secara arif menyikapi serta mengkritisi setiap gagasan yang dicetuskannya. Penulis menganggap proses kreatif ini, dengan menyelami serta mengkritisi, akan menemukan signifikansinya ketika dipahami dalam kerangka historis pada waktu pemikiran Illich lahir dan kemudian dikontekstualisasikan dalam masa sekarang.


Pemikiran yang akan disoroti dalam tulisan ini, adalah pemikiran pendidikan Ivan Illich dalam buku kontroversialnya yang berjudul “Deschooling Society”. Tentu saja penulis tidak akan terlalu jauh membahas setiap detil gagasan Illich, disebabkan luasnya gagasan-gagasan yang telah ia tuangkan dalam buku tersebut. Buku yang ditulis Illich dalam rangka mengkritisi praktek kemapanan pendidikan yang selama beberapa tahun diselenggarakan oleh sekolah ini, dianggap sangat berbahaya oleh beberapa pihak. Ia dianggap telah menyadarkan masyarakat akan urgensi peninjauan ulang beberapa konsep yang selama ini dianggap mapan oleh sebagian besar masyarakat. Ivan Illich memang berbeda dengan beberapa pemikir pendidikan lainnya seperti Paulo Freire. Ivan dianggap bukan sebagai pemikir yang memiliki massa (baca: pengikut) seperti layaknya Freire. Pemikiran-pemikiran Freire diikuti oleh banyak orang dikarenakan mempunyai target yang jelas, yaitu kaum tertindas (proletar dalam bahasa Marx) yang termarjinalkan oleh praktek pendidikan yang memang tidak adil lagi sangat menindas. Namun pemikiran Illich tetap penting dan, tentu saja, tetap menarik untuk dikaji.


Melucuti kemapanan sekolah adalah tujuan awal dan gagasan pokok yang kemudian Illich tuangkan dalam tulisan-tulisannya. Sekolah, dalam pandangan Illich, adalah lembaga pendidikan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang sangat tidak egaliter lagi diskriminatif. Sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan dalam era industri yang telah menjadi sedemikian mekanistik namun memperkurus kemanusiaan (dehumanisasi – meminjam istilah Freire). Penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah merupakan praksis yang tidak sebangun dengan pendidikan itu sendiri. Murid-murid sekolah kemudian mempunyai logika baru; belajar dianggap sebagai hasil proses pembelajaran yang diadakan oleh sekolah, semakin banyak pengajaran maka semakin banyak hasilnya, menambah materi maka akan semakin mempermudah keberhasilan. Illich menggedor kesadaran masyarakat untuk segera melakukan revolusi budaya, yakni dengan menguji mitos-mitos yang ada dalam lembaga sosial secara radikal yang selama ini telah mapan dalam pandangan masyarakat.


Mayoritas penduduk dalam negara-negara seperti Brasil, Meksiko, Argentina, dan negara-negara Amerika Latin lainnya, dalam pandangan Illich, berada dalam keterkungkungan sekolah. Penduduk ini disekolahkan karena merasa rendah diri dengan terhadap mereka yang. mendapat pendidikan sekolah yang lebih baik. Anehnya, menurut Illich, keyakinan bahwa pendidikan melalui sekolah secara universal mutlak diperlukan justru begitu kuat dianut negara dimana sangat sedikit orang yang telah – dan akan – mengenyam bangku sekolah.


Benar bahwa pengajaran mempunyai andil dalam penciptaan proses belajar dalam waktu dan situasi tertentu. Namun hal ini bukan lalu berarti bahwa hanya pengajaran an sich yang bisa menciptakan proses belajar. Banyak orang yang bisa membaca dan senang membaca beranggapan bahwa mereka bisa dan senang membaca karena sekolah, namun ketika mereka ditanya secara langsung mengenai hal ini, mereka akan melepaskan ilusi ini. Fakta yang ada malah menunjukkan bahwa kebanyakan orang mendapatkan banyak pengetahuan yang berguna justru di luar pengajaran yang telah diprogram sebelumnya.


Salah satu permasalahan yang disoroti Illich adalah mengenai legitimasi yang diberikan sekolah terhadap ketrampilan yang dimiliki oleh seseorang yang telah lulus dari sekolah. Orang yang telah mengenyam pendidikan di sekolah dianggap telah memiliki ketrampilan yang memadai yang ditandai dengan diberikannnya ijazah oleh sekolah. Dalam pandangan Illich, sekolah telah memonopoli ketrampilan/peran sosial yang seharusnya tidak dilakukannya. Sekolah telah menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Sekolah hanya melayani kepentingan segelintir masyarakat yang konsumtif-konsumeristik.dengan mencetak serta memasok tukang-tukang yang bisa diberikan instruksi untuk berbuat sesuai dengan keinginan sekolah. Masyarakat telah “dipaksa” untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan atas sertifikat atau ijazah mengenai ketrampilan yang dimiliki seseorang. Maka kemudian dengan secara tegas, Illich menyatakan “ School, invariably, shapes the consumer who values institutional commodities above the nonprofessional ministration of a neighbor”. Fenomena inilah yang kemudian menjadi dasar pijakan bagi Illich untuk menyatakan bahwa sekolah telah melakukan praktek-prektek pendidikan yang diskriminatif.


Satu hal yang bisa jadi tidak disadari Illich adalah pernyataannya mengenai tindakan diskriminatif sekolah terhadap anak usia sekolah. Dalam pandangan penulis, pembagian anak usia sekolah ke dalam kelas yang berbeda-beda memang dibutuhkan. Karena hal ini sesuai dengan kondisi psikologis anak yang memang berbeda-beda dan, tentu saja, membutuhkan treatment yang berbeda-beda pula. Sehingga bisa dikatakan bahwa konklusi Illich dalam perpsektif psikologi tidak bisa dibenarkan. Dengan demikian, tesis Illich memang bisa dibenarkan sebagian, dan tidak bisa dibenarkan dalam beberapa hal. Namun setidaknya, lagi-lagi, Illich memang telah menyadarkan kita mengenai hal-hal yang tidak kita duga sebelumnya mengenai sekolah.


Kasus Indonesia yang mungkin bisa dianggap relevan dengan kritikan Illich adalah permasalahan yang saat ini masih digodok oleh decision maker yang berkenaan dengan sertifikasi guru. Dunia pendidikan Indonesia merupakan dunia problematis lagi kompleks. Sebagaimana pernah dilaporkan dalam salah satu TV swasta bahwa guru yang telah benar-benar memenuhi sertifikasi yang ditetapkan pemerintah hanyalah sekitar 31% (data per Desember 2006). Dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa men”sertifikasi’kan seluruh guru di negeri ini.


Memang realita yang ada di Indonesia berbeda dengan realita yang dihadapi Illich pada waktu itu. Tesis Illich telah sampai pada kesimpulan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan telah menyebabkan langkanya ketrampilan. Sebagaimana dinyatakan oleh Illich “….Skill teachers are made scarce by the belief in the value of licenses. Certification constitutes a form of market manipulation and is plausible only to a schooled mind. Most teachers of arts and trades are less skillful, less inventive, and less communicative than the best craftsmen and tradesmen….”Ada permasalahan lain yang pada waktu itu belum sempat muncul. Penggalakan sertifikasi di Indonesia, disamping membuat diskriminasi, disinyalir juga akan memunculkan praktek jual beli gelar yang ilegal, program kuliah jarak jauh yang mempersingkat waktu untuk mendapatkan gelar, serta program kuliah yang berangkat dari logika semakin banyak uang semakin singkat waktu kuliah yang bisa ditempuh. Sungguh sangat ironis melihat kenyataan seperti itu. Pendidikan telah benar-benar direduksi dari makna mulia yang sebenarnya. Maka jangan salahkan kalau kemudian lulusan yang dihasilkanpun tidak mempunyai ruh pedagogis yang seharusnya dimiliki. Pendidikan kemudian kehilangan elanvitalnya.


Dunia pendidikan Indonesia bak lingkaran setan. Sementara pemerintah meminta semua guru harus bersertifikasi dengan terlebih dahulu harus mengenyam pendidikan tinggi, masyarakatpun mengeluh dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan tinggi “pemasok” guru bersertifikat (lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai jurusan keguruan), seringkali juga dikritik karena ketidakmampuannya menyiapkan lulusan yang berkualifikasi dan kompeten di bidangnya. Lembaga pendidikan tinggi ini dituding melahirkan lulusan yang setengah-setengah, bahkan tidak pantas menjadi seorang guru. Lulusan bersertfikatpun ternyata juga belum tentu memiliki kompetensi. Dan hal inilah yang perlu untuk segera dibenahi. Lalu sebenarnya quo vadis pendidikan Indonesia?.

Selasa, 07 Mei 2013

Islam itu mengajarkan perlawanan

    Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang umat Islamnya paling besar di seluruh dunia. Ini juga sering terdengar di kebanyakan khotbah-khotbah yang entah itu kita dapati secara langsung ataupun menyaksikannya melalui layar kaca. Walaupun pada akhirnya kehidupan berbangsa, bernegara, serta bermasyarakat di negara ini sama sekali tidak terlalu mencerminkan predikat di atas.

     Predikat sebagai penganut agama Islam itu tak sebanding dengan reputasi yang tertorehkan dalam perjalanan negara ini. Korupsi justru membabi buta di negara ini. Bahkan korupsi pun juga sudah merasuki di departemen agama negara ini. Instansi yang seharusnya diisi oleh "orang-orang suci" sebagai panutan bagi masyarakat luas. Belum lagi pendidikan yang bertemakan Islam ternyata juga tega memeras biaya pendidikan yang melangit kepada orang tua peserta didiknya. Biaya yang mencekik ternyata berlaku juga di rumah sakit-rumah sakit yang berlabelkan Islam. Ditambah lagi beberapa organisasi-organisasi Islam yang identik dengan sikap heroik salah tempatnya yang sangat jauh dari konsep Islam. Lantas Islamnya ada dimana?

     Entahlah, mungkin Islam di bangsa ini hanya identik dengan sisi ritualitasnya saja. Islam yang cuman ada shalat, tadarrus, zikir, serta haji (itupun terkadang hanya untuk mencapai status sosial yang tinggi di masayarakat),dan lain sebagainya yang bersifat ritualis. Islam seakan-akan terpenjarakan oleh tembok-tembok masjid yang megah. Tembok-tembok megah yang di dalamnya kita asyik bermesraan dengan Tuhan seakan tak perduli akan realitas-realitas sosial yang terjadi di balik tembok-tembok megah itu. seakan-akan Islam telah kehilangan esensinya dalam beragama. Masyarakat kita gagal "menghadirkan" Tuhan di dalam kehidupannya sehari-hari. ya, ini sama seperti yang Nietzche katakan sebagai kematian Tuhan. Manusia dengan arogannya membunuh makna serta citra Tuhan itu sendiri. ataupun yang feurbache katakan bahwa manusia telah terasing dari nilai-nilai luhurnya yang tercermin dengan kehidupan bermasyarakatnya yang jauh dari konsep agama.

     Setahuku Islam bukan seperti itu, Islam itu mengajarkan untuk membina hubungan baik secara horizontal maupun secara vertikal. Berbuat baik kepada Tuhan serta berbuat baik sesama makhluk. Islam mengajarkan kasih sayang,  kemanusiaan, serta toleransi kepada sesama manusia. Mengajarkan agar. sesama manusia untuk saling tolong menolong serta saling menghargai tanpa. harus memilih-memilih. Namun entah Islam yang sekarang, mungkin saja konsep tersebut sudah usang dan tergantikan seiring berlalunya zaman.

     Hey, tunggu dulu. Islam sekarang masih mempertahankan nilai-nilai sosialnya. Islam masih berada di garis terdepan dalam memerangi kemaksiatan yang terjadi di lingkungan masyarakat. terbukti dengan berbondong-bondongnya para pejuang-pejuang Islam untuk ikut serta dalam memberantas penyakit-penyakit masyarakat. Jika bulan puasa tiba, maka dengan garangnya mereka menghancurkan warung-warung yang menjual minuman-minuman keras, rumah-rumah bordil sarang para wanita malam menjajakan dirinya, ataupun klub-klub malam yang masih buka pada bulan puasa. mereka merusak, membakar serta memporak-porandakannya walaupun tanpa ada yang tahu atas legitimasi apa mereka berbuat seperti itu.

     Jika ditilik lebih jauh, malah melihat kecenderungan para pejuang tersebut justru membuat adanya ironi di dalamnya. dimana melihat perjuangan mereka yang ternyata sangat bersifat momentuman belaka. ketika bulan puasa telah berlalu, praktis tidak ada lagi tindakan-tindakan perlawanan yang mereka lakukan. Lantas dimana mereka dalam memberantas korupsi? dimana mereka pada saat penggusuran pemukiman kaum miskin? apakah itu tidak termasuk tindakan berdosa di dalam ajaran Islam? sungguh benar-benar sangat memprihatinkan. Ini ditambah lagi terkadang tindakan mereka yang terkesan masih memilih-milih korbannya. entah karena persoalan politis atau sebagainya. Dilengkapi dengan citra buruk yang melekat kepada mereka yang katanya lebih layak dijuluki preman dibanding pejuang Islam akibat tindakan-tindakan brutal yang kerap terjadi kala mereka menjalankan aksinya. malah harusnya Islam tidak seperti ini kawan!!!

     Jika para ulama ditanya bagaimana pendapat mereka tentang penggusuran kaum miskin, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, penyakit busung lapar dimana-mana, serta korupsi yang membudaya. maka kebanyakan dari mereka akan menjawab dan menghimbau agar tetap sabar dan menganggap semua itu cobaan dari Tuhan. Kita cukup berdoa saja semoga cobaan ini cepat berlalu. Namun apakah dengan bermodalkan dengan kesabaran serta doa bangsa Ini akan menyelesaikan problem keb angsaaannya? tentu saja jawabannya adalah tidak. Kita tidak boleh hanya duduk sambil mengadahkan tangan berharap Tuhan sudi turun dari kayangan dan melafadzkan kalimat kun fayaakun yang lantas membuat bangsa ini sejahtera. bukankah sudah jelas tertuang dalam Al Quran bahwa "tak akan berubah nasib suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang mengubahnya." kita butuh ikhtiar sebagai penyelesaiannya. dibutuhkan usaha yang keras untuk memenuhi syarat-syarat yang Tuhan berikan untuk kita. syarat-syarat untuk memenuhi takdir yang telah Tuhan siapkan untuk bangsa ini. Bukan hanya sekedar teori saja untuk mendapatkan kesejahteraan. bukan hanya dengan menghakimi suatu perbuatan itu dosa atau tidak. melainkan kita harus mempraktekkannya. melakukan amal baik dan mencegah yang mungkar.

   Jadi, seharusnya kita sebagai manusia beragama mulai menghadirkan Tuhan dalam kehidupan sosial kita. Bukan hanya dengan sekedar bersabar dan berdoa, melainkan berperan aktif dalam menegakkan nilai-nilai Islam di negara ini. Melakukan perlawanan terhadap penindasan serta ketidakadilan yang terjadi di negara ini. Ya, Islam seharusnya begitu. karena Islam itu adalah agama perlawanan.

Jatuh Cinta (tidak) Biasa Saja/Confession of Faith

Hey kamu yang di sudut sana.
yang sengaja menutup dirinya dalam kelam.
bersembunyi di balik topeng tragisnya.
menahan sakit yang selama ini terpendam.

hey, katamu jatuh cinta itu biasa saja.
hanyalah sebuah perasaan yang dilebih-lebihkan.
sebuah dalih untuk mengecup seorang gadis secara gratis.
ataukah dalih agar selalu punya tempat untuk belajar retorika.

hey, jika memang jatuh cinta sesederhana itu.
kenapa kau merasakan begitu pedih kini.
kenapa kau menangis memendam sakit.
bahkan harus bersusah payah menyembunyikannya.
hanya kau yang tak mampu membedakan cintamu dan hasrat binatangmu.

hey, berbahagialah kau.
akhirnya kau mampu merasakan cinta itu.
hasrat untuk senantiasa menyempurna.
ingin menjadi dekat dengan Dia kekasih abadimu.
kembali padaNya Sang Sebab awal.

hey, ceritakan padaku bagaimana rasanya?
begitu sakit kah?
cintamu yang terhijabi kenistaanmu.
merasa tak pantas mendapat cintaNya.
Terang saja, kau begitu kotor untuk dapatkan cintaNya.
bahkan hanya untuk sekedar dekat denganNya.

hey, menderitalah kau.
merasakan cinta yang tak biasa itu.
tahanlah perihnya.
dan berharaplah.
Dia akan memanggilMu untuk mendekat padaNya.

FAITH

Dexter Fritz ternyata bukan seorang yang teguh pendiriannya.
Dia berjanji pada dirinya sendiri tapi akhirnya dia mengingkarinya sendiri.
Dulu dia tak pernah menginginkan wanita, dia hanya ingin menghabiskan hidupnya dengan musik.
Tapi seorang Faith Adrienne Warren telah merubahnya,
Membuatnya menjadi seorang yang diperbudak oleh cinta.

Aku seperti terjerat dan aku tak bisa menyelamatkan diriku.
Dia begitu mempesona.
Dia adalah seorang wanita sempurna.
Aku bisa saja melakukan apa saja untuk bisa bersamanya.
Aku mencintainya di setiap hembusan nafasku,
Di setiap detak jantungku,
Dan di setiap detik yang ku lalui.
Aku tak bisa mengendalikannya,

Perasaan itu yang mengendalikanku dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku seperti seorang pecundang yang kalah oleh pesona luar biasa dari seorang wanita.

*diambil dari potongan halaman Faith - T. Andra